Minut – Ketua Bawaslu Sulut Ardiles Mewoh mengharapkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur transparan dalam mengelola dana kampanye Pilkada 2024.
Dia mengimbau Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) harus sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran peserta maupun tim pelaksana kampanye masing-masing.
“Kami mengimbau dana kampanye dalam RKDK harus diisi dengan apa yang dikeluarkan dan pemasukannya, semua harus transparan,” kata Mewoh saat menjadi nara sumber dalam kegiatan sosialisasi Pembukaan RKDK Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Tahun 2024 di The Sentra Hotel, Selasa (17/9/2024).
Mewoh yang membawakan materi secara daring meminta paslon untuk menggunakan RKDK sesuai aturan hukum dan aturan yang berlaku.
Dalam kegiatan yang diikuti utusan partai politik pengusung 3 paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut ini, Mewoh menjelaskan bahwa Bawaslu menangani tiap pelanggaran yang terjadi selama masa Pilkada berlangsung, seperti pelanggaran dana kampanye. Sedangkan untuk jenis pelanggaran lainnya menurut dia, perlu disesuaikan dan dikoordinasikan dengan pihak terkait.
“Kami sudah sampaikan juga jika kemudian ada indikasi pelanggaran tindak pidana pilkada yang berkaitan dengan dana kampanye, maka kami akan teruskan kepada aparat penegak hukum khususnya teman-teman kepolisian dan kejaksaan. Jika berkaitan dengan dana kampanye, maka kami akan menyampaikan kepada sentra Gakkum untuk melakukan koordinasi dan juga pemantauan,” ujarnya..
Lebih lanjut dijelaskan Mewoh, sumber dana partai politik tak boleh didapatkan secara serampangan.
Ada aturan larangan menerima sumbangan dana dari sumber lain diatur dalam Pasal 339 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pihak-pihak yang tak boleh diterima dana sumbangannya atau dana sumbangan yang tak boleh diterima oleh pasangan calon yaitu:
- Pihak asing.
- Penyumbang yang tidak jelas identitasnya.
- Hasil tindak pidana yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana.
- Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
- Pemerintah desa dan badan usaha milik desa.
Sanksi menerima dana partai politik dari pihak tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 339 tersebut diatur dalam Pasal 527, Pasal 528, dan 584. Pada Pasal 527, Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Sementara itu, dalam Pasal 339 ayat (2) peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye yang menerima sumbangan dari pihak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 339 ayat (1) dilarang menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan itu kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah masa kampanye berakhir.
Bila tidak memenuhi ketentuan, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pemilu: “Peserta yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasat 339 ayat (2) dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda sebanyak tiga kali dari jumlah sumbangan yang diterima,” bunyi Pasal 528 UU Pemilu.
Selain itu, apabila pelaksana dan tim kampanye yang menggunakan dana dari sumbangan yang dilarang dan/atau tidak melaporkan dan/ atau tidak menyetorkan ke kas negara sesuai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (2) juga dapat dipidana. Adapun dipidana yang dimaksud yaitu penjara paling lama dua tahun dan denda sebanyak tiga kali dari jumlah sumbangan yang diterima.
Dalam Pasal 339 ayat (4) disebutkan bahwa setiap orang dilarang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah (BUMD), Pemerintah Desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada pelaksana kampanye.
Sanksinya diatur dalam Pasal 584, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.