Bahu Membahu BI dan Pemprov Sulut, Menetralisir ‘Pedasnya’ Harga Rica dan Pekerjaan Rumah ‘Melezatkan’ Harga Daging Babi Penyebab Inflasi

Manado – Inflasi kini menjadi momok bagi usaha pemerintah untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Istilah inflasi sudah sangat akrab di telinga publik.  Dalam KKBI, pengertian inflasi adalah kemerosotan nilai uang  karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Dengan kata lain inflasi adalah menurunnya nilai mata uang karena beberapa faktor.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa inflasi adalah keadaan perekonomian negara di mana ada kecenderungan kenaikan harga-harga dan jasa dalam waktu panjang. Penyebabnya karena tidak seimbangnya arus uang dan barang.

Jika Inflasi rendah dan stabil maka perekonomian akan terjaga.

Di daerah Sulawesi Utara, bahan kebutuhan pangan  rawan menjadi penyebab inflasi, karena mudah mengalami gejolak akibat produksi pertanian yang kurang baik untuk menjaga kestabilan penawaran barang.

Laju inflasi terbesar di Sulawesi Utara biasanya terjadi pada komoditas bahan makanan.

Data BPS Sulut dirilis 1 Agustus 2024, pada bulan Juli 2024, inflasi Sulawesi Utara berada pada angka 4,03 persen. Berdasarkan kelompok pengeluaran, dapat dilihat bahwa, makanan, minuman dan tembakau menyumbang angka inflasi tertinggi sebesar 10,9 persen dari tahun ke tahun (y-on-y)dan memberikan andil inflasi secara keseluruhan sebesar 3,35.

Yang paling dirugikan dengan naiknya harga bahan makanan tentu saja adalah para penjual makanan jadi. Karena tidak mudah bagi mereka untuk menyesuaikan harga dengan cepat karena takut kehilangan konsumen.

Sementara bagi konsumen rumah tangga, karena pengeluaran untuk bahan makanan menjadi prioritas utama sehari-hari, maka rumah tangga akan tetap melakukan pembelian meski harga tinggi (mahal).

Konsekuensinya alokasi pengeluaran untuk komoditas lain seperti pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang notabene merupakan produk-produk industri pengolahan, harus dikurangi.

Di Sulut, data empirik menunjukan bahwa, cabai rawit (rica), daun bawang dan tomat (Brito) menjadi komoditas dominan pendorong inflasi di daerah ini dari tahun ke tahun. Data BPS Sulut per 1 Agustus 2024, tiga komoditas ini dominan mendorong inflasi di Sulut di samping daging babi dan beras (y-on-y).

Maka dari itu, sejak beberapa tahun terakhir, Bank Indonesia melakukan program pembinaan langsung kepada para petani yang mengusahakan komoditas-komoditas ini (Barito). Pembinaan oleh Bank Indonesia ini mulai dari perbaikan proses produksi, penjualan dan distribusi komoditas.

Pembinaan Bank Indonesia terhadap petani pada tahun 2024 ini menampakkan hasil positif.

Pada tanggal 10 Januari awal tahun ini, Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara bersama Kelompik Tani Berkah  di Kelurahan Pobundayan, Kota Kotamobagu, telah mampu memanen sekitar 5 ton bawang merah yang ditanam di lahan seluas 5.000 meter persegi. Secara bersamaan, mereka juga mulai menanam tomat di lahan seluas 1,4 hektar yang diperkirakan akan dapat dipanen pada tahun ini juga.

Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara juga melakukan panen cabai rawit (rica) bersama kelompok tani binaannya.

Di Talaud,  bersama  Pemkab Kepulauan Talaud melakukan panen perdana cabai rawit (rica) di Desa Sawang, Kecamatan Melonguane. Rica yang dipanen merupakan hasil budidaya Kelompok Tani Misu yang diketuai Philep Sasiil (73).

Kelompok Tani Misu membudidayakan rica varietas lokal secara konsisten tiga tahun terakhir. Panen ini untuk menjaga ketahanan pangan di daerah 3T.

Selanjutnya di Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara (Minut) petani binaan BI Sulut akhirnya memetik hasil jerih lelah beberapa bulan berjalan ini.

Di Kota Manado dilaksanakan panen perdana cabai keriting dengan Kelompok Tani Mitra Bersama, sedangkan di Kabupaten Minahasa Utara yakni cabai rawit dengan P4S Sari Hutan Abadi pada akhir April 2024.

Ada juga panen perdana cabai rawit di Kota Tomohon untuk mengendalikan inflasi di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). BI bersama sejumlah anggota kelompok tani (Poktan) Sukoi Rabbit, dan Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan Kota Tomohon panen perdana cabai rawit di Kaskasen, Kota Tomohon, Rabu (24/4/2024) lalu.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulut Andry Prasmuko mengatakan, kolaborasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Utara dengan para petani hortikultura terus menuai hasil yang positif.

“BI bukan faktor utama, tapi BI hadir untuk berkontribusi, memberikan stimulus untuk meningkatkan ketahanan pangan di Sulut yang sering mendorong inflasi,” ujarnya.

Selain upaya pembinaan petani terkait produksi dan pasca produksi, BI terus berkoordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) provinsi Sulawesi Utara dalam mengantisipasi potensi terjadinya inflasi.

BI juga mendukung penuh program Gerakan Pangan Murah  (GPM) yang dilaksanakan secara berkesinambungan oleh pemprov Sulut. GPM terbukti bisa memproteksi petani (produsen) dan konsumen dari ulah para mafia pangan.

Andry Prasmuko mengatakan gerakan pangan murah mampu mengendalikan angka inflasi di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw pada akhir bulan lalu mengatakan, GPM merupakan strategi pemerintah untuk mengantisipasi harga pangan yang naik akhir-akhir ini.

“Gejolak harga pangan dampaknya itu sangat destruktif pada kebutuhan pangan kita, untuk itu harus kita antisipasi,” katanya.

Dia menjelaskan dalam mengantisipasi pasokan dan harga pangan harus melibatkan seluruh stakeholder terkait. Semua harus dilakukan secara gotong royong.

Ia berharap GPM dapat memberikan pengaruh terhadap kestabilan pasokan dan harga pangan bagi masyarakat sehingga inflasi juga bisa terkendali.

Kolaborasi BI dan Pemerintah daerah (Pemda) se-Sulut terbukti efektif dalam pengendalian inflasi di daerah ini terutama yang disebabkan oleh komoditas pangan dari sektor pertanian.

Namun demikian, saat ini ada pekerjaan rumah (PR) yang harus segera dikerjakan yakni terkait mahalnya harga daging babi.

Berdasarkan pantauan wartawan media www.cybersulutnews.co.id di beberapa pasar dan swalayan, Senin (05/08/2024), harga daging babi berada di kisaran Rp.135.000 – Rp. 145.000.

Berdasarkan data BPS Sulut dirilis 1 Agustus 2024, daging babi merupakan komoditas pendorong inflasi terbesar tahun ke tahun (y-on-y), yakni sebesar 1,15 persen di atas beras sebesar 0,78 persen, tomat sebesar 0,52 persen, cabai rawit sebesar 0,27 persen dan daun bawang sebesar 0,22 persen.

Berdasarkan sumber data yang sama, daging babi juga menjadi komoditas dominan tertinggi pendorong inflasi bulan ke bulan (m-to-m) yakni sebesar 0,13 persen diatas tomat sebesar 0,11 persen, air ineral sebesar 0,06 persen, daun bawang sebesar 0,05 persen dan daging ayam ras sebesar 0,04 persen.

Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Steven Kandouw dalam kegiatan Gerakan Pangan Murah (GPM) yang dilaksanakan Pemprov Sulut dan didukung penuh Bank Indonesia, Senin (29/7/2024) mengingatkan akan pekerjaan rumah menstabilkan harga daging babi.

Menurut Kandouw, tingginya harga daging babi akibat kurangnya produksi pasca wabah ‘African Swine Fever’ (ASF), di mana populasi babi di Sulut turun hingga 70 persen.

Menurut Wagub, Pemprov Sulut telah mendatangkan 750 ekor babi dari Bali untuk menjaga stabilitas harga daging babi di daerah ini.

“Gubernur mengambil langkah ini agar harga daging babi tidak menyebabkan inflasi,” kata Wakil Gubernur Sulut Steven OE Kandouw.

“Setelah mempertimbangkan dan membandingkan dengan daerah lain, gubernur memutuskan untuk mengimpor babi dari Bali. Kualitasnya bagus dan meskipun ada biaya kirim, harganya tetap lebih murah dari harga pasar Rp120 ribu per kilogram,” ungkapnya.

Wakil Gubernur mengkhawatirkan jika tidak ada tindakan antisipasi, harga daging babi bisa mencapai Rp 200 ribu per kilogram.

Wagub yakin inisiatif Gubernur Olly Dondokambey untuk mendatangkan babi dari Bali akan menjaga pasokan dan menstabilkan harga. Diketahui, dari 750 ekor babi yang diimpor dari Bali terdiri dari 500 ekor babi potong dan 250 ekor indukan.

Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Utara (Sulut) Andry Prasmuko mengatakan pihaknya akan terus memberikan dukungan terhadap upaya pemprov Sulut dalam menekan angka inflasi yang disebabkan naiknya harga daging babi.

Sinergitas dan kolaborasi  BI dan Pemprov Sulut kiranya terus terbangun dalam upaya mengendalikan inflasi di daerah ini.

Melihat warga Sulut yang gemar mengkonsumsi makanan pedas dan budaya masyarakat Sulut yang suka menggelar acara makan-makan di mana setiap acara makan tak lengkap jika tidak menyuguhkan daging babi, maka Bank Indonesia dan Pemprov Sulut tentunya memiliki tanggung jawab menjaga dua komoditas penyumbang inflasi ini agar harga cabai merah atau rica tak sepedas rasanya dan lesatnya daging babi bisa dinikmati dengan harga murah. (jemsy)

Leave a Reply

News Feed