by

Diskusi HAM di Sulut, AJI, LBH dan YDRI Sukses Gelar Noreng Film “Senyap”

Suasana diskusi dan noreng film “Senyap” yang digelar di Secretariat AJI Manado, Jumat (19/12)  kemarin.
Suasana diskusi dan noreng film “Senyap” yang digelar di Secretariat AJI Manado, Jumat (19/12) kemarin.
Manado- Setelah dua kali gagal digelar oleh sejumlah elemen dengan berbagai alasan, Jumat (19/12) kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI) Sulut, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sukses menggelar diskusi akhir tahun dan nonton bareng (noreng) film “Senyap”.

Puluhan aktivis dari berbagai lembaga memadati Sekretariat AJI Manado untuk mengikuti kegiatan itu.

Mengangkat tema, “Catatan Akhir Tahun HAM di Sulawesi Utara”, kegiatan diawali dengan diskusi yang dipandu oleh Aryati Rahman dari LBH Manado. Kesempatan pertama, Direktur YDRI Sulut, Nurhasanah banyak mengulas terkait bagaimana pihaknya mendampingi korban-korban pelanggaran HAM di tahun 1965/1966 yang dicap sebagai antek-antek PKI. Nurhasanah memaparkan, film “Senyap” merupakan satu dokumentasi bagaimana ada hak-hak manusia yang dilanggar, ada penghilangan secara paksa terhadap nyawa manusia, maupun kekerasan secara psikologis yang dirasakan korban, bahkan keturunan korban.

“Menonton film ini bukan berarti kita lantas menganut ideologi PKI. Tapi ini satu dokumentasi bahwa ada pelanggaran HAM di masa silam yang harusnya diselesaikan. Sehingga tidak ada pembenaran atas pelanggaran HAM di masa sekarang, karena di masa lalu belum tuntas,” papar Nurhasanah.

Sementara itu Direktur LBH Manado, Hendra Baramuli memaparkan, bagaimana kasus-kasus yang ditangani sepanjang tahun 2014. “Ada 65 kasus yang kami tangani. dan aparat yang paling banyak terlibat,” papar Baramuli.

Sedangkan Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun dalam pemaparannya menyatakan, berbagai diskusi termasuk noreng film “Senyap” merupakan bagian dari upaya peningkatan kapasitas jurnalis dalam memahami berbagai isu liputan di masyarakat. “Lebih dari itu, persoalan HAM itu sangat penting karena menyangkut aspek kemanusiaan. Martabat manusia yang dilanggar, dan media berperan dalam mengangkat kasus-kasus seperti itu,” ujar Ikanubun.

Usai diskusi, puluhan peserta dari berbagai lembaga kemahasiswaan dan kemasyarakatan termasuk jurnalis serius menyimak jalannya film “Senyap” yang menceritakan bagaimana keluarga korban kekerasan tahun 1965 bertemu, dan berdialog sekaligus berupaya melakukan proses rekonsiliasi dengan para pelaku pembunuhan dan pembantaian dalam tragedi pasca 1965 tersebut.

Sinopsis film besutan Joshua Oppenheimer memfilmkan para pelaku genosida di Indonesia, satu keluarga penyintas mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana anak mereka dibunuh dan siapa yang membunuhnya. Adik bungsu korban bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, dan kemudian mendatangi mereka yang bertanggungjawab atas pembunuhan kakaknya merupakan sesuatu yang tak terbayangkan di negeri dengan para pembunuh yang masih berkuasa.(Ai)

Comment

Leave a Reply

News Feed